cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER (JHAPER) adalah terbitan berkala yang dikelola dan dipublikasikan oleh Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER), suatu organisasi profesi yang menghimpun para dosen perguruan tinggi negeri yang mengajar dan menekuni mata kuliah Hukum Acara Perdata. Jurnal ini menjadi wadah bagi para dosen yang tergabung dalam ADHAPER, para praktisi hukum dan pengamat hukum untuk memberikan kontribusi pemikiran berupa artikel hasil penelitian dan artikel konseptual untuk dipublikasikan dan disebarluaskan kepada publik. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER juga mengemban misi sebagai salah satu media untuk menampung dan mempublikasikan gagasan-gagasan yang mendorong dilakukannya pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional Indonesia oleh Pemerintah dan Legislatif.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019" : 10 Documents clear
Analisis Yuridis terhadap Kewajiban Hakim Perdata dalam Menilai Kompetensinya Secara Otonom Yuvens, Damian Agata; Hutabarat, Rianty
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.168 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.92

Abstract

Buku II Mahkamah Agung menentukan bahwa pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 132 Rv menyatakan bahwa ketidakberwenangan adalah hal yang harus dinyatakan oleh hakim secara ex offi cio. Sayangnya, kedua ketentuan ini tidak selalu diterapkan. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kedua kewajiban ini seyogianya dilaksanakan? Dalam tulisan ini, pertanyaan ini dijawab dengan menggunakan kacamata normatif pada 2 tataran, yaitu azas dan implementasi. Azas yang menjadi batu uji adalah azas hakim bersifat pasif dan azas ius curia novit. Sehubungan dengan azas hakim bersifat pasif, yang menjadi sorotan adalah ruang lingkup kepasifan hakim perdata dalam pemeriksaan perkara dan kemungkinan terjadinya ultra petita, sedangkan untuk azas ius curia novit, yang menjadi sorotan adalah kemungkinan terlanggaranya adagium hakim tidak boleh menolak perkara. Analisis pada tataran implementasi dari kewajiban hakim dalam memeriksa kompetensinya dilakukan dengan membayangkan implementasinya dari sisi positif dan negatif. Jika kewajiban ini dilakukan, beban hakimlah yang menjadi masalah utama, namun jika tidak dilakukan, kemungkinan menjamurnya vexatious litigation dan ketiadaan upaya hukumlah yang terbayang. Kesimpulannya adalah, hakim perdata seyogianya melakukan penilaian terhadap kompetensinya terlebih dahulu ketika suatu permohonan diajukan kepadanya.
Buah Simalakama Pengaturan Prosedur Mediasi Di Pengadilan Terhadap Penyelesaian Kepailitan Ekonomi Syariah Di Indonesia Sufiarina Sufiarina
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.88

Abstract

Kepailitan ekonomi syariah merupakan bagian dari perkara ekonomi syariah, berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 seharusnya menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama. Pengaturan prosedur mediasi di pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2008 menyebabkan kepailitan ekonomi syariah tidak dapat diperoses di Pengadilan Agama, karena prosedur penyelesaian kepailitan tidak mengenal mediasi dan bersifat sumir, harus diberi putusan dalam waktu 60 hari. Perma No. 1 Tahun 2008 telah diganti dengan Perma No. 1 tahun 2016 dengan mengecualikan mediasi atas sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktunya, sebagaimana halnya ketentuan kepailitan. Perlu dicari tahu imbas perubahan pengaturan prosedur mediasi bagi penyelesaian kepailitan ekonomi syariah dan bagaimana implikasi hukum penyelesaian kepailitan ekonomi syariah di Indonesia. Penelitian dilakukan secara yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, menggunakan asas-asas hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan dan sejarah hukum. Didalami dengan teori kewenangan dan prinsip sita umum sebagai alat argumentasi hukum. Hasil yang diperoleh dengan diubahnya Perma No. 1 Tahun 2008 menjadi Perma No. 1 Tahun 2016, maka kepailitan ekonomi syariah dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Justru membawa peluang persinggungan kompetensi antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Niaga dalam memutus kepailitan, karena debitur dapat dipailitkan oleh Pengadilan Agama dan dipailitkan kembali oleh Pengadilan Niaga.
Penyelesaian Sengketa Hak Atas Logo (Suatu Kajian Overlapping Hak Cipta dan Merek) Muchtar A H Labetubun
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (249.168 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.93

Abstract

Berlakunya UndangUndang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta menentukan bahwa logo tidak dapat dicatatkan sebagai karya cipta, sehingga mengakibatkan karya cipta berupa logo tidak mendapatkan petikan resmi atas ciptaannya, maka perlindungan karya cipta atas suatu logo akan terancam sehingga berpontensi dibajak atau ditiru oleh orang lain. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografi s bahwa, Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafi s berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Perbedaan pengaturan perlindungan hak atas Logo dalam Hak Cipta maupun Merek tersebut maka terjadi tumpang tindih (Overlapping) antara Hak Cipta dan Merek terkait dengan suatu karya Logo dalam praktek menghasilkan interpretasi. Penyebabnya karena kurangnya pemahaman mengenai perbedaan antara perlindungan hak cipta dan merek sehingga menimbulkan sengketa hak atas suatu Logo.
Pengaturan Pengajuan Gugatan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Dalam Penyelesaian Sengketa Asuransi Di Indonesia Wetria Fauzi
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.363 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.89

Abstract

Dewasa ini banyak permasalahan seputar praktik perjanjian asuransi, yang seringkali pemegang polis sebagai konsumen yang dirugikan. Terjadi permasalahan berkaitan dengan penegakan terkait dengan hukum acara khusus terkait hukum acara penyelesaian sengketa asuransi. Penyelesaian sengketa asuransi dilkukan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Persoalan beracara tidak terlepas dari adanya gugatan, tentunya dalam hal ini hukum acara yang berlaku adalah hukum acara khusus diluar HIr/Rbg. Dalam melaksanakan kewenangannya OJK berpedoman kepada UU Nomor 21 tentang OJK yang mana OJK dapat menggugat pelaku usaha. Dalam praktik Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ini sama sekali belum pernah dilakukan dalam kasus konsumen yang dirugikan dalam perkara konsumen, . padahal, Pasal 30 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan memungkinkan upaya ini dilakukan. Pada Undang-Undang OJK pada Pasal 28-31 menyebutkan bahwa perlindungan konsumen yang diberikan OJK dapat berupa: tindakan pencegahan kerugian konsumen, pelayanan pengaduan, pembelaan hukum. Kemudian dalam rangka melindungi konsumen dan masyarakat, Pasal 30 ayat (1) huruf b UU OJK menentukan bahwa OJK juga berwenang melakukan pembelaan hukum dengan cara mengajukan gugatan. kewenangan OJK dalam mengajukan gugatan (legal Standing) inilah perlu diatur lebih jauh, sehingga konsep perlindungan hukum secara represif bagi pemegang polis menjadi terang dan jelas sesuai dengan prinsip kepastian hukum.
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dhian Indah Astanti; B. Rini Heryanti; Subaidah Ratna Juita
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.64 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.94

Abstract

Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain berupa prinsip bagi hasil.Melihat perkembangan bank syariah selama ini, prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan tugasnya belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal terutama dalam hal apabila terjadi sengketa antara para pihak, bank syariah dan nasabahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah serta prinsip penanganan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penelitian hukum yang diguankan yuridis sosiologis dengan analisis secara kualitatif dan diidentifi kasi serta dilakukan kategorisasi. Kesimpulan bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sejak tanggal 30 Maret 2006 telah memberikan payung hukum bagi penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia dan sengketa bidang perbankan syariah menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara yaitu litigasi dan non litigasi disamping itu lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mempertegas mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak bank dengan nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
Simplifikasi Prosedur Beracara dengan Pemanfaatan Teknologi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata Faisal Luqman Hakim
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.021 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.85

Abstract

Kemajuan teknologi yang demikian pesat harus dapat dimanfaatkan untuk mempermudah pemeriksaan perkara di pengadilan serta mereduksi kelemahan-kelemahan yang selama ini terjadi dalam pemeriksaan perkara secara konvensional. Banyaknya permasalahan yang sering terjadi dalam praktik mengenai prosedur beracara di pengadilan mulai dari tidak sampainya relaas panggilan kepada para pihak, tidak adanya sanksi yang tegas bagi kelurahan atau desa yang tidak menyampaikan relaas panggilan kepada pihak yang berperkara, kurangnya pengaturan unsur yang harus ada dalam surat gugatan sehingga menyebabkan timbulnya permasalahan, dan kurang efi siennya prosedur dalam acara jawab jinawab di pengadilan. Permasalahan tersebut bisa diminimalisir dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi. Tidak sampainya relaas panggilan kepada pihak yang berperkara, maka relaas panggilan selain disampaikan secara langsung juga bisa dilakukan secara elektronik, baik melalui pesan singkat atau surat elektronik. Jika relaas panggilan itu sudah disampaikan kepada kelurahan atau desa namun oleh kelurahan atau desa relaas itu tidak disampaikan kepada pihak yang berperkara, maka kelurahan atau desa harus diberikan sanksi yang tegas. Selanjutnya dalam unsur rekes terutama surat gugatan perlu untuk memasukkan unsur formil tambahan berupa tanggal waktu surat gugatan diajukan ke pengadilan. Hal ini penting kaitannya dengan adanya kuasa hukum, apakah tanggal yang tercantum dalam surat kuasa sama ataukah berbeda dengan tanggal yang tercantum dalam surat gugatan serta sebagai patokan lamanya waktu pemeriksaan perkara. Lalu perlunya menyederhanakan prosedur jawab jinawab di pengadilan untuk lebih efektif dan efi sien, sehingga penting kiranya untuk memanfaatkan teknologi dalam rangka mempermudah rangkaian prosedur pemeriksaan perkara di pengadilan dengan memasukkannya ke dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata.
Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Perundang-Undangan Bidang Perkawinan Di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe Teuku Yudi Afrizal
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.146 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.90

Abstract

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa hukum terpenting dalam kehidupan manusia untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah sesuai dengan tuntunan agama dan peraturan perundangan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai adalah mengenai batas minimal usia calon mempelai pria sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Namun ketentuan tersebut dapat disimpangi dengan cara meminta dispensasi perkawinan secara tertulis dari Pengadilan/pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan Jo. Pasal 6 ayat (2) huruf e PP Nomor 9 Tahun 1975 Jo, Pasal 15 ayat (1) KHI. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan serta akibat hukum dari penetapan permohonan dispensasi perkawinan dibawah umur. paper ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normative dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi pertimbangan hakim adalah adanya alasan yuridis psikologis dan pertimbangan maslahat (maqashid al syari’ah). Akibat hukum yang timbul dari dikabulkannya permohonan dispensasi perkawinan adalah terhadap calon suami isteri adalah dapat melangsungkan perkawinan layaknya pasangan mempelai yang sudah mencapai usia dalam hukum positif, apabila lahir anak dalam perkawinan tersebut maka akan diakui oleh negara sebagai anak yang sah dan terhadap harta perkawinan juga dapat dikelola secara bersama dan apabila terjadi perceraian dapat dibagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Gugatan Ganti Rugi Immateriil pada Perkara Perbuatan Melawan Hukum (Analisis Putusan Kasasi No. 3215 K/PDT/2001) Rai Mantili; Anita Afriana
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.972 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.86

Abstract

Putusan Mahkamah Agung No. 3215 K/PDT/2001 tanggal 30 Agustus 2007 adalah putusan yang mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat H.M. Soeharto melawan Majalah Times Asia selaku Termohon Kasasi/Tergugat. Putusan Mahkamah Agung tersebut Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar ganti rugi (kerugian immateriil) kepada Pemohon kasasi/Penggugat sebesar Rp 1 Triliun Rupiah. Termohon Kasasi/Tergugat diputus membayar ganti rugi immateriil tersebut atas tindakannya yang memberitakan Pemohon Kasasi/Penggugat disebut sebagai diktator korup di Asia selama 32 tahun. Soeharto menjadi presiden di Indonesia dengan kekayaan ditaksir sekitar US$ 15 miliar yang terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya. Putusan Mahkamah Agung No. 3215 K/PDT/2001 berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menolak gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat. Gugatan ganti rugi immateriil sering ditemui dalam suatu gugatan, namun, dibeberapa putusan, gugatan ganti rugi immateriil tidak selalu dikabulkan oleh hakim. Artikel ini disajikan secara deskriptif analitis yang mengedepankan data sekunder, yaitu menggambarkan masalah hukum dan gejala lainnya yang berkaitan dengan kasus mengenai gugatan ganti rugi immateriil. Putusan hakim kasasi yang mengabulkan tuntutan ganti rugi immateriil sebesar Rp. 1 Triliun memang tidak menyalahi aturan dalam hukum acara karena hakim kasasi tidak melebihi tuntutan gugatan immateriil dari Penggugat sebesar Rp. 189 Triliun, namun, ganti rugi sebesar Rp. 1 Triliun tersebut juga seyogyanya memperhatikan keadilan bagi pihak Tergugat.
Hubungan Kemitraan dalam Sengketa Terkait Ketenagakerjaan Rangga Sujud Widigda; Aisyah Sharifa
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.026 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.91

Abstract

Apakah hubungan kemitraan antara para pihak yang bersengketa dapat dianggap sebagai hubungan kerja atau hubungan keperdataan, merupakan satu hal yang hampir selalu diperdebatkan dan menjadi inti dari hampir setiap sengketa mengenai hubungan kemitraan yang terkait dengan ketenagakerjaan. Hal ini berkaitan dengan boleh tidaknya salah satu pihak memutus perjanjian secara sepihak, jika hal tersebut terjadi pada perjanjian kemitraan, pemutusan tersebut mungkin saja terjadi, namun lain halnya dengan perjanjian kerja yang mengharuskan adanya prosedur pemutusan hubungan kerja yang perlu diikuti sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Contohnya seperti kasus antara PT. Bahana Prestasi Linc Express dan Nurudin, Nurudin meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dianggap sebagai pekerja dalam pemutusan hubungan secara sepihak oleh PT. Bahana Prestasi Linc Express meskipun perjanjian antara Nurudin dan PT. Bahana Prestasi Linc Express seharusnya adalah perjanjian kemitraan, pada akhirnya Pengadilan Hubungan Industrial menganggap bahwa perjanjian antara kedua belah pihak tersebut merupakan perjanjian kerja, yang berarti terdapat miskonsepsi pemahaman antara perjanjian kemitraan dan perjanjian kerja di kalangan pelaku usaha. Diferensiasi mengenai hubungan kemitraan dan hubungan kerja merupakan hal yang esensial untuk menghindari adanya penggunaan celah hukum yang berakibat pada menurunnya kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam hubungan kemitraan secara umum dan menghindari kekacauan hukum terkait pengakhiran perjanjian kemitraan itu sendiri. Penulis melihat adanya urgensi untuk dilakukan pengaturan mengenai hubungan kemitraan oleh pemerintah agar adanya perlindungan hukum terhadap kepentingan para pihak yang terikat di dalamnya. Selain itu kompetensi absolut dari pengadilan juga perlu diatur oleh pembuat undang-undang terkait sengketa hubungan pekerjaan dan hubungan kemitraan, mengingat perbedaan dalam kedua hubungan tersebut.
Tuntutan Atas Hak Sangkal Pemberi Kuasa Kepada Penerima Kuasa Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Antara Ancaman dan Pengejawantahan Hak Imunitas Profesi Advokat) Heri Hartanto
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.386 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.87

Abstract

Pasal 25 RUU Hukum Acara Perdata mengatur hak sangkal pemberi kuasa atas tindakan penerima kuasa dan berhak untuk menuntut ganti kerugi kepada penerima kuasa. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan apakah bertentangan dengan ketentuan Pasal 16 UU Advokat? Advokat memiliki hak imunitas yang melindunginya dari tuntutan secara pidana maupun perdata dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 26/PPU-XI/2013 juga berpendapat sama, hak imunitas profesi Advokat berlaku pula untuk di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Hubungan kerja antara penerima kuasa (Advokat) dengan pemberi kuasa yang didasari dengan surat kuasa yang pada prinsipnya adalah suatu perjanjian/persetujuan untuk menyelenggaran suatu urusan untuk kepentingan pemberi kuasa. Asas umum dalam sebuah perjanjian harus didasari oleh itikad baik dari kedua belah pihak. Benang merah pada sengkarut pengaturan ini terletak pada itikad baik pemberi kuasa dan penerima kuasa dalam menjalankan perjanjian pemberian kuasa. Asas itikad baik merupakan gagasan yang dipakai untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin dilakukan oleh salah satu pihak. Asas ini mengajarkan bahwa dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik patut dilindungi dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut mendapatkan sanksi akibat ketidakjujurannya tersebut. Penerima kuasa (Advokat) sebagai salah profesi hukum memiliki kode etik dalam melaksanakan tugasnya, oleh karenanya tindakan penerima kuasa yang mengatas namakan penerima kuasa tidak boleh dilandasi oleh itikad buruk. Hak sangkal pemberi kuasa terhadap tindakan penerima kuasa yang beritikad buruk merupakan implementasi terhadap hak imunitas profesi Advokat.

Page 1 of 1 | Total Record : 10